News Update :
Home » » Kaum Muda, Budaya Lokal, dan Era Global

Kaum Muda, Budaya Lokal, dan Era Global

Penulis : Unknown on Tuesday, December 17, 2013 | 7:58 AM

SUDAH saatnya kaum muda bicara! Lalu mengambil langkah, dan secepatnya melakukan tindakan nyata untuk menjawab tantangan kaum tua tentang apa yang bisa kita lakukan untuk bangsa dan kebudayaan kita.
Sudah selazimnya, kaum muda bergerak gesit dan dinamis. Tingkah lakunya seringkali diperhatikan dan dianggap penting. Mungkin karena ada istilah bahwa masa depan bangsa ada di tangan generasi muda. Dalam berbagai aspek, mereka dituntut untuk menjadi konseptor, juga pelopor. Kaum muda mempunyai cara khas, dan independen, dan tak perlu menunggu sokongan lembaga pemerintahan ketika menumbuhkan dan menjaga rasa bangganya terhadap kebudayaan lokal
Menyoal rasa bangga pada budaya, saya ingin sedikit menyinggung realita di kalangan muda. Seiring globalisasi, kebanyakan remaja cenderung menggandrungi budaya luar. Hal ini semakin mengental didukung media massa yang ikut menjadi promotor trend. Belakangan, misalnya, sebagian kalangan remaja terjangkit “demam K-pop” alias mengidolakan “Boy and Girl Band” asal Korea, termasuk artisnya yang unyu-unyu.
Selain hapal lagu dan gerakan tarinya, akhirnya sebagian kalangan muda ini, juga penasaran dengan bahasa, cara berpakaian, dan kebiasaan lainnya di Korea. Dari penasaran, berlanjut pada keinginan mempelajari budaya negeri asal ginseng itu. Fakta ini menjadi ironis ketika para remaja itu ditanya tentang bahasa daerahnya sendiri: mereka hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala.
Namun tak usah menjadi pesimis. Di luar sana, masih banyak kelompok pemuda yang berpikiran sebaliknya, sayangnya mereka belum banyak terjamah media. Bagaimana bisa anak muda terlihat gaul dan keren tanpa menanggalkan identitas budayanya? Jawabannya: bisa!
Salah satunya dibuktikan sekelompok mahasiswa muda Institut Teknologi Bandung (ITB) yang terhimpun dalam bisnis kreatif bernama “Lazuli Sarae”. Beberapa waktu lalu, mereka didaulat sebagai pemateri dalam seminar kepemudaan yang diselenggarakan salah satu media cetak nasional.
Dimulai dengan menyatukan passion, diteruskan dengan modal nekat dengan rintisan yang independen, jadilah sebuah rintisan bisnis pakaian yang mengusung tema batik denim.
Nama “Lazuli Sarae” sendiri berasal dari dua bahasa yang dikolaborasikan. “Lazuli” berasal dari bahasa Prancis, “Lazhward” yang berarti biru. Kata kedua, yaitu “Sarae” adalah kata bahasa Sunda yang berarti bagus. Sesuai dengan namanya, mereka menyimbolkan batik sebagai produk lokal, simbol tradisional ketimuran. Sedangkan denim mewakili kultur modern barat. Ini sesuai dengan tag-linenya, ”Local Value, Modern Spirit.”
Mengutip sebuah artikel yang ditulis Ivan Kurniawan, salah satu penggagas, bahwa tercetusnya ide bisnis kreatif ini bermula ketika ia bersama rekannya, Maretta Astri Nirmanda mengikuti ajang kontes rencana bisnis kreatif di Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2010. Rupanya modal nekatnya berbuah manis. Konsep bisnis Lazuli Sarae mereka keluar sebagai runner up dalam ajang kreatif tersebut. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk mengeksekusi Lazuli Sarae menjadi sebuah bisnis nyata.

Mereka melakukan proses pembatikan pada bahan denim, sehingga menghasilkan tekstur baru. Warna biru denim mendominasi dan kain batik tentunya dilukis secara manual dan tradisional. Jadilah sebuah produk pakaian yang keren dan sesuai selera anak muda. Yang tak kalah penting, strategi promosi dan publikasi hasil karya dilakukan melalui cara-cara modern, di antaranya via on-line. Sepakat, alternatif promosi melalui sistem online menjadi pilihan cerdas dalam menyebarluskan produk budaya kepada warga dunia. Karena, tradisional bukan berarti kuno dan tua.

***

Di situasi global ini, dimana berbagai kebudayaan saling berbaur dan bergerak dinamis, para pemuda dituntut tampil spesial, berbeda,dan tetap bangga dengan ciri khas budayanya. Kaum muda harus merasa beruntung, karena Indonesia memiliki kekayaan budaya yang banyak dan beragam.
Bekal utamanya tiada lain, yakni rasa percaya diri. Tinggal kita yang memilih, mau melupakan dan ikut ikutan zaman modern yang tak keruan ini, atau sebaliknya, menunjukkan sikap bangga lalu mengekspresikannya dalam bentuk nyata. Membuktikan kepada orang tua, tetangga, dan juga dunia.
Pemuda berkuasa atas tindakannya. Mari kita bergerak untuk identitas kita, agar tak kehilangan jati diri. Ayo! Kita layak menjadi pusat perhatian dunia.[]
Bagikan Artikel Ini :
 
STMIK PPKIA TARAKANITA RAHMAWATI KOTA TARAKAN